Sabtu, 01 Mei 2021

Asal-usul Tumbuhan Patah Tulang Si Tanaman Ajaib

Tumbuhan patah tulang umumnya dikenal sebagai bahan obat-obatan tradisional. Di Indonesia, misalnya di Jayapura, tumbuhan ini kerap digunkana sebagai obat yang mampu mempercepat penyembuhan patah tulang.

 

Beberapa wilayah lainnya pun menggunakan tumbuhan ini dalam keperluan yang sama. Tak ayal, tumbuhan ini punya nama sebagai tumbuhan patah tulang.

 

Mengacu pada Global Biodiversity Information Facility (GBIF), tumbuhan patah tulang punya banyak sub-spesies. Tumbuhan patah tulang ini berasal dari keluarga Euphorbiaceae.

 

Adapun sub-spesies lainnya seperti Crepidaria myrtifolia (Mill.) Haw, Crepidaria subcarinata Haw, Euphorbia canaliculata Lodd, Euphorbia carinata Donn,

Pedilanthus deamii Millsp, Pedilanthus fendleri Boiss, Pedilanthus gritensis Zahlbr, dan masih banyak lainnya.

 

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang kuat dan mampu hidup di berbagai kondisi. Itu alasannya mengapa tumbuhan ini punya banyak spesies. Kemampuannya beradaptasi dan mentoleransi berbagai kondisi membuanya dapat hidup di berbagai belahan dunia.

 

Lantas, dari mana asal-usul tanaman ini?

Tumbuhan Patah Tulang itu Asli Indonesia?

Mengacu pada karya ilmiah berjudul “Euphorbia tirucalli L. (Euphorbiaceae) –

The Miracle Tree: Current Status of Knowledge”, terdapat dugaan asal tumbuhan ini. Sejumlah peneliti, yakni Van Damme, and Schmelzer and Gurib-Fakim, yakin tumbuhan ini berasal dari Afrika Timur.

 

Lebih lanjut, menurut mereka tumbuhan ini merupakan tumbuhan endemik di Angola,

Eritrea, Ethiopia, Kenya, Malawi, Mauritius, Rwanda, Senegal, Sudan, Tanzania,

Uganda dan Zanzibar.

 

Kemudian, mereka menyebut sub-spesies yang ditemukan di wilayah lainnya seperti Asia, Eropa dan Amerika, merupakan bentuk pengenalan tanaman untuk keperluan medis.

 

Bayangkan, tumbuhan ini mampu hidup pada wilayah yang bahkan tumbuhan lain sulit untuk hidup. Mulai dari tropis kering, wilayah dengan curah hujan rendah, tanah yang erosi, hingga wilayah dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut.

 

Namun, tumbuhan ini tidak selamat pada wilayah yang beku. Sehingga, persebaran tumbuhan ini tergantung dengan suhu wilayah tersebut.

Rahasia Khasiat Si Tumbuhan Patah Tulang

Mari kita tengok isi dari tumbuhan patah tulang. Pada bagian getahnya, tumbuhan ini mengandung Cyclotirucanenol (triterpene), Diterpene ester, Steroid dan Tirucalicine (diterpene). Sedangkan pada bagian lainnya terdapat Campesterol, stigmasterol, betasitosterol, isofucosterol, cycloartenol, Euphol and beta-amyrin (triterpenoids), Taraxerane triterpene, dan Tirucalicine (diterpene).

 

Tenang, Anda tidak perlu menghafal seluruh kandungan tersebut untuk tahu khasiat dari tumbuhan ini. Anda hanya perlu mengingat beberapa saja.

 

Pertama, triperten atau Cyclotirucanenol merupakan zat yang beracun. Zat ini cukup berbahaya hingga dapat menyebabkan kebutaan jika terkena mata. Jika dikonsumsi, zat ini dapat menyebabkan sakit perut dan diare.

 

Namun, di balik bahayanya, tripertene mampu dimanfaatkan menjadi obat oles. Selain itu, air rebusan tumbuhan patah tulang bisa digunakan untuk racun ikan.

 

Kedua, kandungan Phorbol ester. Zat ini dinilai sangat tidak baik untuk pengobatan kanker. Bahkan, catatan klinis menyebut zat ini mampu memicu tumor. Kendati demikian, ada beberapa negara yang masih menggunakan tanaman ini untuk pengobatan kanker dan tumor. Salah satunya adalah Brasil.

 

Adapun zat yang berperan dalam penyembuhan tulang adalah ekstrak hidroalkohol mentah dari Euphorbia tirucalli L. Namun, perlu digarisbawahi bahwa zat ini bukan bekerja sebagai penyembuh patah tulang. Melainkan meredakan rasa sakit saja.

Ditulis Oleh: Huda Bilowo 

Sumber:

Supriyanto, Lilis Astria Ika Luviana. 2010. Pengaruh Pemberian Getah Tanaman Patah Tulang Secara Tropical Terhadap Gambaran Histopatologis dan Ketebalan Lapisan Keratin Kulit. Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010

 

Juliani et al. 2013. African Natural Plant Products Volume II: Discoveries and Challenges in Chemistry, Health, and Nutrition ACS Symposium Series; American Chemical Society: Washington, DC, 2013.

 

 


0 komentar:

Posting Komentar