Rabu, 04 November 2020

Sejarah Jahe, Rempah Dunia yang Tak Tertandingi

Ditulis oleh: Huda Bilowo

Jahe menjadi incaran masyarakat dunia saat ini. Covid-19 tak hanya menyadarkan manusia betapa berharganya hidup sehat. Namun, ia juga kembali menyingkap tabir kedigdayaan salah satu rempah dunia, jahe.

Bayangkan, tahun 2020  jahe punya harga yang terbilang fantastis. Bulan April tahun 2020, harga jahe melambung hingga 5 kali lipat dari harga normal yakni 40.000 rupiah. Membeli 1 kg jahe sama seperti membeli 1 kg daging sapi yakni berkisar di antara 90.000 hingga 100.000 rupiah.

Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun mancanegara. Cina, misalnya. Situs freshplaza mengabarkan terjadi kenaikan harga jahe pada negeri Tirai Bambu itu, meski kenaikannya tidak sebesar Indonesia. Lonjakan harga ini tentu menimbulkan pertanyaan? Kok bisa?

Alasan pertama, warga mulai kembali melirik khasiat rempah ini lantaran gempuran virus corona yang tak kunjung usai. Singkat cerita, hidup sehat kembali digandrungi. Media hingga tetangga lokal mulai mempromosikan jahe secara cuma-cuma. Mengapa tidak? Jahe kaya akan khasiat yang baik untuk tubuh. Di antaranya:

  1. Mampu mengobati sejumlah penyakit termasuk gangguan degeneratif, gangguan pencernaan, hingga masalah kardiovaskular.
  2. Jahe bersifat anti-inflamasi dan anti-oksidasi. Artinya ia mampu mengendalikan penuaan serta mencegah penyakit menular.
  3. Memperkuat sistem kekebalan tubuh dengan kandungan gingerols, shogaols, dan zingerones.
  4. Jahe mampu menghambat infeksi bakteri dan virus seperti shigela dan E.coli.

 

Serbuk jahe yang sudah kami olah secara mandiri
Foto: Kang Usep

Pada artikel sebelumnya Khasiat Bandrek Serta Bahan Bakunya kita telah membahas tiga kandungan utama jahe serta khasiatnya. Tiga zat tersebut adalah phenolic, minyak atsiri, dan zingeron. Pada minyak atsiri, terkandung gingerol dan shogaol sebagai zat anti-inflamasi. Maksudnya, zat ini mampu mencegah kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri,   virus, jamur, dan parasit.

Alasan kedua, jahe adalah rempah yang sangat populer sejak abad pertengahan, bahkan sebelumnya. Sadar atau tidak, lonjakan permintaan jahe seakan kembali mengingatkan manusia akan kejayaan jahe pada masa lampau. Sederhananya, sejak dulu hingga saat ini, jahe sangat populer.

Sejarah Jahe di Dunia: Komoditi Mahal yang Kaya Manfaat

Tahukah Anda bahwa jahe pernah semahal domba? Kondisi ini terjadi sekitar tahun 400 masehi saat perdagangan rempah merajai perekonomian dunia. Tak hanya jahe. Bahkan harga pala lebih mahal dari pada emas. Ini adalah masa di mana perdagangan rempah menjadi industri terbesar di dunia.

Rempah, sebagaimana sejarah mencatat, sudah ada sejak tahun 1.555 sebelum masehi. Hal ini dibuktikan melalui catatan peradaban Mesir. Pada catatan tersebut, rempah seperti ketumbar, adas, jintan, bawang putih, juniper, dan timi dimanfaatkan untuk kesehatan. Bagaimana dengan jahe?

Jahe pada Era Sebelum Masehi: Obat dan Bahan Makanan

Asal nama Ginger, atau jahe dalam bahasa Inggris berasal dari kata gingivere. Di Yunani, jahe memiliki nama ziggiberis dan pada bahasa Latin jahe disebut zinziberi. Memiliki banyak nama, dari mana asal muasal jahe?

 

Minuman Jahe ala Pupid House
Foto: Kang Usep

Buku berjudul Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical Aspects menjelaskan India dan Cina telah memanfaatkan jahe sejak 5.000 tahun lalu. Salah satu tokoh filsafat Cina, Confucius, sangat mengagumi kemampuan jahe dalam mengobati penyakit. Oleh karenanya, sejak dulu Cina memanfaatkannya sebagai tanaman herbal untuk mengobati berbagai penyakit.

Begitu juga dengan India. India memang terkenal dengan penghasil jahe terbesar kedua setelah Cina sejak dulu hingga saat ini. Selain memanfaatkannya sebagai obat, India juga menggunakan jahe sebagai penyedap makanan. Itu sebabnya India memiliki satu wilayah bernama Srngaveram yang bermakna jahe. Warga lokal memaknai srngaveram sebagai ‘horn root’.

Salah satu keunikan dan kelebihan jahe selain manfaat kesehatannya adalah pemanfaatannya. Bayangkan, jahe memiliki fungsi yang berbeda-beda pada umur yang berbeda pula. Misal, untuk memanen ekstrak jahe, maka jahe harus dipanen pada umur 9 bulan. Pada umur tersebut, kulit jahe cenderung lebih keras dan akarnya semakin tajam sehingga lebih mudah dikeringkan dan diambil ekstraknya. Pada umur 5 bulan, jahe biasa dimakan langsung karena kulitnya masih tipis dan rasanya pun masih lembut.

 

Proses budidaya Jahe Merah di Pupid House
Foto: Kang Usep

Uniknya, jahe bukanlah tanaman yang mampu tumbuh secara alami pada alam liar. Ini yang justru menjadi pertanyaan terbesar bagi akademisi perihal orisinalitas jahe. Siapa duluan yang menanam jahe?

Jahe pada Abad Pertengahan: Komoditas Mahal Dunia

Seiring berjalannya waktu, kedigdayaan jahe mulai menjamah seantero dunia. India dan Cina mulai melakukan perdagangan yang menjadi sebab persebaran jahe di Dunia. Mulai dari Asia Tenggara, Afrika, hingga benua Amerika. Pada abad 1, jahe mulai memasuki kawasan mediterania.

Pada abad tersebut, Kekaisaran Roma jatuh cinta dengan jahe yang ia dapat dari perdagangannya dengan India. Jahe mendapat peran yang besar dalam lingkungan penduduk Roma. Mulai dari pemanfaatannya sebagai penyedap makananan hingga obat herbal. Bahkan, jahe termaktub dalam buku resep masak Roma yang berjudul Apicius. Jahe dan rempah lainnya kemudian mulai menjadi komoditi yang sangat berharga kala itu.

Bayangkan, Kekaisaran Romawi membayar tentaranya dengan garam dan rempah. Namun, hal itu belum seberapa. Pada abad 16 pekerja bongkar muat barang di pelabuhan. Jahe sendiri memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang domba. Namun, saat pamor rempah mulai panas, pamor jahe sempat hilang di Eropa. Itu adalah saat di mana Roma runtuh pada abad 2. Ia adalah Marco Polo yang kembali mengembalikan pamor jahe saat ia mengembara ke timur pada tahun 1200-an.

Tepatnya pada abad ke-13 perdagangan rempah mulai stabil, khususnya jahe. Ia menjadi komoditas asal Asia yang begitu digandrungi masyarakat Eropa. Perjalanan Marco Polo membuat jahe menjamah daerah-daerah baru yang juga berdampak pada nilai jual jahe. Pada abad ke-14, harga jahe dapat setara dengan kebutuhan pokok masyarakat.

Jahe Dulu dan Nanti: Indonesia Meramu Jamu

Melintas sepintas sejarah jahe membuka mata kita bahwa rempah satu ini sudah terkenal sejak dahulu. Khasiat jahe baik dalam bidang kesehatan dan kuliner menjadikannya salah satu rempah dengan harga yang tinggi. Meski pamornya sempat naik dan turun, namun terbukti hingga saat ini jahe masih menjadi primadona. Bahkan di Indonesia.

Sejarah mencatat, jahe telah masuk ke Indonesia bahkan sebelum masehi. Tentu, warga nusantara dengan berbagai kearifannya telah mengulik manfaat dari rempah ini. Buktinya, kita mengenal berbagai macam jenis minuman tradisional berbahan dasar jahe. Sebutlah jamu sebagai istilah yang paling terkenal untuk minuman herbal orang dulu ini.

Perihal kesehatan dari jamu, Indonesia punya pandangannya sendiri. Anggapan bahwa jamu, atau jahe yang sedang kita bahas, mampu menangkal berbagai penyakit terpatahkan dengan budaya minum jamu. Pasalnya, ajian jahe dan jamu hanya bisa muncul ketika ia menjadi way of life atau gaya hidup.

Sedikit yang mengetahui bahwa jamu berasal dari kata Jampi Husada. Setidaknya ungkapan ini mulai kembali muncul seiring kembalinya muruah jamu. Jampi husada merupakan bahasa Jawa kuno yang artinya doa kesembuhan. Pada masyarakat Jawa Kuno, peramu jamu punya nama Acaraki. Modernnya, Acaraki adalah barista untuk jamu.

Layaknya doa, efek dari jamu pun muncul setelah dikonsumsi berulang kali. Doa akan menampakkan hasilnya ketika dilakukan secara berulang. Ia bekerja layaknya kalimat positif yang kerap diulang-ulang sehingga terpatri dalam benak dan menjadi satu dalam kehidupan. Jamu di sisi lain, menampakkan khasiatnya setelah diminum secara rutin.

Kembali pada jahe, khasiatnya pun tak serta merta langsung muncul sekali tenggak. Indonesia dengan kearifannya mengajarkan bahwa jahe sebagai jamu sehat dalam kondisi tertentu. Jahe dalam jamu akan benar-benar berkhasiat kala ia menjadi bagian dari pola hidup sehat.

Sumber:

Bode, Ann M., Zigang Dong. 2011. Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical Aspects. 2nd edition. CRC Press

Mc Cornick Science Institute. History of Spices. Mccornickscienceinstitute.com

Morais, Rodolfo. 2017. The Spice Trade: History of The Ancient Treasure of The East. Grapesandgrains.org

Whipps, Heather. 2008. How the Spice Trade Changed the World. Livescience.com

2 komentar: