Ditulis oleh: Huda Bilowo
Jahe menjadi incaran masyarakat dunia saat ini. Covid-19 tak
hanya menyadarkan manusia betapa berharganya hidup sehat. Namun, ia juga
kembali menyingkap tabir kedigdayaan salah satu rempah dunia, jahe.
Bayangkan, tahun 2020
jahe punya harga yang terbilang fantastis. Bulan April tahun 2020, harga
jahe melambung hingga 5 kali lipat dari harga normal yakni 40.000 rupiah.
Membeli 1 kg jahe sama seperti membeli 1 kg daging sapi yakni berkisar di
antara 90.000 hingga 100.000 rupiah.
Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun
mancanegara. Cina, misalnya. Situs freshplaza mengabarkan terjadi kenaikan
harga jahe pada negeri Tirai Bambu itu, meski kenaikannya tidak sebesar
Indonesia. Lonjakan harga ini tentu menimbulkan pertanyaan? Kok bisa?
Alasan pertama,
warga mulai kembali melirik khasiat rempah ini lantaran gempuran virus corona
yang tak kunjung usai. Singkat cerita, hidup sehat kembali digandrungi. Media
hingga tetangga lokal mulai mempromosikan jahe secara cuma-cuma. Mengapa tidak?
Jahe kaya akan khasiat yang baik untuk tubuh. Di antaranya:
- Mampu mengobati sejumlah penyakit termasuk gangguan degeneratif,
gangguan pencernaan, hingga masalah kardiovaskular.
- Jahe bersifat
anti-inflamasi dan anti-oksidasi. Artinya ia mampu mengendalikan penuaan
serta mencegah penyakit menular.
- Memperkuat sistem
kekebalan tubuh dengan kandungan gingerols, shogaols, dan zingerones.
- Jahe mampu menghambat
infeksi bakteri dan virus seperti shigela
dan E.coli.
Serbuk jahe yang sudah kami olah secara mandiri Foto: Kang Usep |
Pada artikel sebelumnya Khasiat Bandrek Serta Bahan Bakunya kita telah membahas tiga kandungan utama jahe serta khasiatnya. Tiga zat tersebut adalah phenolic, minyak atsiri, dan zingeron. Pada minyak atsiri, terkandung gingerol dan shogaol sebagai zat anti-inflamasi. Maksudnya, zat ini mampu mencegah kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit.
Alasan kedua, jahe adalah rempah yang sangat populer sejak
abad pertengahan, bahkan sebelumnya. Sadar atau tidak, lonjakan permintaan jahe
seakan kembali mengingatkan manusia akan kejayaan jahe pada masa lampau.
Sederhananya, sejak dulu hingga saat ini, jahe sangat populer.
Sejarah Jahe di Dunia: Komoditi Mahal
yang Kaya Manfaat
Tahukah Anda bahwa jahe pernah semahal domba? Kondisi ini
terjadi sekitar tahun 400 masehi saat perdagangan rempah merajai perekonomian
dunia. Tak hanya jahe. Bahkan harga pala lebih mahal dari pada emas. Ini adalah
masa di mana perdagangan rempah menjadi industri terbesar di dunia.
Rempah, sebagaimana sejarah mencatat, sudah ada sejak tahun
1.555 sebelum masehi. Hal ini dibuktikan melalui catatan peradaban Mesir. Pada
catatan tersebut, rempah seperti ketumbar, adas, jintan, bawang putih, juniper,
dan timi dimanfaatkan untuk kesehatan. Bagaimana dengan jahe?
Jahe pada Era Sebelum Masehi: Obat
dan Bahan Makanan
Asal nama Ginger, atau jahe dalam bahasa Inggris berasal
dari kata gingivere. Di Yunani, jahe
memiliki nama ziggiberis dan pada
bahasa Latin jahe disebut zinziberi.
Memiliki banyak nama, dari mana asal muasal jahe?
Minuman Jahe ala Pupid House Foto: Kang Usep |
Buku berjudul Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical
Aspects menjelaskan India dan Cina telah memanfaatkan jahe sejak 5.000 tahun
lalu. Salah satu tokoh filsafat Cina, Confucius, sangat mengagumi kemampuan
jahe dalam mengobati penyakit. Oleh karenanya, sejak dulu Cina memanfaatkannya
sebagai tanaman herbal untuk mengobati berbagai penyakit.
Begitu juga dengan India. India memang terkenal dengan
penghasil jahe terbesar kedua setelah Cina sejak dulu hingga saat ini. Selain
memanfaatkannya sebagai obat, India juga menggunakan jahe sebagai penyedap
makanan. Itu sebabnya India memiliki satu wilayah bernama Srngaveram yang bermakna jahe. Warga lokal memaknai srngaveram sebagai ‘horn root’.
Salah satu keunikan dan kelebihan jahe selain manfaat
kesehatannya adalah pemanfaatannya. Bayangkan, jahe memiliki fungsi yang
berbeda-beda pada umur yang berbeda pula. Misal, untuk memanen ekstrak jahe,
maka jahe harus dipanen pada umur 9 bulan. Pada umur tersebut, kulit jahe
cenderung lebih keras dan akarnya semakin tajam sehingga lebih mudah
dikeringkan dan diambil ekstraknya. Pada umur 5 bulan, jahe biasa dimakan
langsung karena kulitnya masih tipis dan rasanya pun masih lembut.
Proses budidaya Jahe Merah di Pupid House Foto: Kang Usep |
Uniknya, jahe bukanlah tanaman yang mampu tumbuh secara
alami pada alam liar. Ini yang justru menjadi pertanyaan terbesar bagi
akademisi perihal orisinalitas jahe. Siapa duluan yang menanam jahe?
Jahe pada Abad Pertengahan: Komoditas
Mahal Dunia
Seiring berjalannya waktu, kedigdayaan jahe mulai menjamah
seantero dunia. India dan Cina mulai melakukan perdagangan yang menjadi sebab
persebaran jahe di Dunia. Mulai dari Asia Tenggara, Afrika, hingga benua
Amerika. Pada abad 1, jahe mulai memasuki kawasan mediterania.
Pada abad tersebut, Kekaisaran Roma jatuh cinta dengan jahe
yang ia dapat dari perdagangannya dengan India. Jahe mendapat peran yang besar
dalam lingkungan penduduk Roma. Mulai dari pemanfaatannya sebagai penyedap
makananan hingga obat herbal. Bahkan, jahe termaktub dalam buku resep masak
Roma yang berjudul Apicius. Jahe dan rempah lainnya kemudian mulai menjadi
komoditi yang sangat berharga kala itu.
Bayangkan, Kekaisaran Romawi membayar tentaranya dengan
garam dan rempah. Namun, hal itu belum seberapa. Pada abad 16 pekerja bongkar
muat barang di pelabuhan. Jahe sendiri memiliki nilai yang lebih tinggi
ketimbang domba. Namun, saat pamor rempah mulai panas, pamor jahe sempat hilang
di Eropa. Itu adalah saat di mana Roma runtuh pada abad 2. Ia adalah Marco Polo
yang kembali mengembalikan pamor jahe saat ia mengembara ke timur pada tahun
1200-an.
Tepatnya pada abad ke-13 perdagangan rempah mulai stabil,
khususnya jahe. Ia menjadi komoditas asal Asia yang begitu digandrungi
masyarakat Eropa. Perjalanan Marco Polo membuat jahe menjamah daerah-daerah
baru yang juga berdampak pada nilai jual jahe. Pada abad ke-14, harga jahe
dapat setara dengan kebutuhan pokok masyarakat.
Jahe Dulu dan Nanti: Indonesia Meramu
Jamu
Melintas sepintas sejarah jahe membuka mata kita bahwa
rempah satu ini sudah terkenal sejak dahulu. Khasiat jahe baik dalam bidang
kesehatan dan kuliner menjadikannya salah satu rempah dengan harga yang tinggi.
Meski pamornya sempat naik dan turun, namun terbukti hingga saat ini jahe masih
menjadi primadona. Bahkan di Indonesia.
Sejarah mencatat, jahe telah masuk ke Indonesia bahkan
sebelum masehi. Tentu, warga nusantara dengan berbagai kearifannya telah
mengulik manfaat dari rempah ini. Buktinya, kita mengenal berbagai macam jenis
minuman tradisional berbahan dasar jahe. Sebutlah jamu sebagai istilah yang
paling terkenal untuk minuman herbal orang dulu ini.
Perihal kesehatan dari jamu, Indonesia punya pandangannya
sendiri. Anggapan bahwa jamu, atau jahe yang sedang kita bahas, mampu menangkal
berbagai penyakit terpatahkan dengan budaya minum jamu. Pasalnya, ajian jahe
dan jamu hanya bisa muncul ketika ia menjadi way of life atau gaya hidup.
Sedikit yang mengetahui bahwa jamu berasal dari kata Jampi
Husada. Setidaknya ungkapan ini mulai kembali muncul seiring kembalinya muruah
jamu. Jampi husada merupakan bahasa Jawa kuno yang artinya doa kesembuhan. Pada
masyarakat Jawa Kuno, peramu jamu punya nama Acaraki. Modernnya, Acaraki adalah
barista untuk jamu.
Layaknya doa, efek dari jamu pun muncul setelah dikonsumsi
berulang kali. Doa akan menampakkan hasilnya ketika dilakukan secara berulang.
Ia bekerja layaknya kalimat positif yang kerap diulang-ulang sehingga terpatri
dalam benak dan menjadi satu dalam kehidupan. Jamu di sisi lain, menampakkan
khasiatnya setelah diminum secara rutin.
Kembali pada jahe, khasiatnya pun tak serta merta langsung
muncul sekali tenggak. Indonesia dengan kearifannya mengajarkan bahwa jahe
sebagai jamu sehat dalam kondisi tertentu. Jahe dalam jamu akan benar-benar
berkhasiat kala ia menjadi bagian dari pola hidup sehat.
Sumber:
Bode, Ann M., Zigang Dong. 2011. Herbal Medicine:
Biomolecular and Clinical Aspects. 2nd edition. CRC Press
Mc Cornick Science Institute. History of Spices.
Mccornickscienceinstitute.com
Morais, Rodolfo. 2017. The Spice Trade: History of The
Ancient Treasure of The East. Grapesandgrains.org
Whipps, Heather. 2008. How the Spice Trade Changed the
World. Livescience.com
Mantuuul
BalasHapusMantap Betulll
Hapus