Oleh: Firman Hafizd
Nampak langit yang mulai
meredup, ditinggal sang mentari yang makin lama tenggelam di arah barat. Langit
yang putih gelap beserta corak awan hitam yang menggumpal, menandakan malam
akan segera menguasai hari. Di simpang jalan yang ramai lalu lalang berbagai
macam kendaraan bermotor, nampak terlihat padat. Saat itu aku sedang menikmati teh
hangat bersama temanku bernama Jalil. Jalil yang sekarang menjadi penjual ikan
cupang, dengan segala kelengkapannya untuk memenuhi kebutuhan penghias wadah
berbentuk kotak sekira lima belas sentimeter tingginya.
Nampak di sebuah kotak
setinggi lima belas sentimeter itu, mengayun sebuah akar yang lembut dalam air.
Di bagian atasnya mekar daun yang berwarna hijau, tumbuh segar terpampang di
meja pajangan. Jalil yang dulunya hanya sebagai kuli pembuat batako di sebuah
pabrik pencetak batako, yang sekarang terpaksa gulung tikar karena dampak dari
sebuah wabah yang menjadi pandemi. Namun tumbuhan itulah yang menjadi jalan
Jalil menjadi penjual ikan cupang.
Bukan hanya Jalil saja, hal
itu terjadi juga kepada temanku yang lain, yang juga sebagai buruh pabrik,
terkena dampak mewabahnya sebuah virus yang tidak sedikit meregang nyawa
manusia di seluruh jagat raya. Namun, tidak ada kesulitan yang datang menimpa
suatu kaum melainkan datang beserta kemudahan.
Jalil yang telah membereskan
dagangannya itu, segera membersihkan seluruh tubuhnya untuk kemudian bergegas
menunaikan solat magrib. Hingga setelah kami berdua menunaikan kewajiban
tersebut, maka cerita perjalanan Jalil yang sekarang menjadi seorang penjual
ikan cupang di tengah pandemi itu, diceritakannya di sebuah teras yang menjadi
tempat Jalil menjajakan dagangan ikan cupangnya.
***
Semua berawal dari
menurunnya permintaan produksi di pabrik batako tempat saya bekerja dulu. Hal
itu dikarenakan semua pembangunan dihentikan, baik pembangunan skala besar
maupun kecil. Kian hari tidak ada pemasukan di pabrik tersebut. Perlahan satu
persatu karyawan pabrik mengundurkan diri hendak mencari peruntungan di tempat
lain. Namun saya sendiri tetap bertahan karena tidak tahu harus bekerja ke
mana. Karena saya hanya seorang yang tidak memilki keahlian apapun selain
mengangkat tumpukan batako dan merapihkannya. Hanya tenaga saja yang saya andalkan
untuk bekerja.
Setelah satu semester
berlalu sepi permintaan di pabrik tersebut, akhirnya tutup juga pabrik tempat
saya bekerja. Pabriknya disita oleh Bank karena pinjaman modal yang tidak
terbayar cicilannya. Semua karyawan upahnya tidak terbayar sampai sekarang.
Upah sebulan, saya tidak mendapatkannya. Teman kerja saya yang bernama Huri,
pun tidak mendapatkan upah. Begitu juga tiga karyawan yang tersisa saat itu,
upahnya tidak terbayar sampai sekarang. Namun pada akhirnya kami mengikhlaskan
upah yang tidak terbayar itu. Mengingat sudah tidak ada lagi harapan untuk
mendapat pemasukan di pabrik tersebut karena segala yang ada di dalamnya sudah
habis. Tanah dan bangunanya sekarang milik sebuah Bank.
Sebulan setelah kejadian
itu, saya mulai cemas dengan wabah yang kian hari terus menghantui. Uang hasil
menabung kian menipis karena kebutuhan setiap hari yang tidak bisa dihentikan.
Sementara saya yang pada saat itu menjadi seorang penganguran di tengah
pandemi, belum juga mendapatkan pekerjaan pegganti waktu saya masih menjadi buruh
di pabrik batako.
Namun saya percaya bahwa
segala kesulitan yang saat itu hadir, turun juga beserta kemudahannya. Tinggal
saya sendiri yang harus berusaha menemukan kemudahan tersebut. Hingga pada
suatu waktu ketika saya berjalan entah ke mana tujuan, melintaslah saya ke
daerah pesawahan. Di situ terdapat ladang dan sawah yang sedang digarap oleh
para petani yang lumayan jauh dari tempat tinggal saya. Hingga terpikir diri
saya untuk menawarkan tenaga, membantu menggarap sawah yang sedang digarap itu.
Barangkali, peruntungan ada di sawah ini memihak kepada saya yang seorang
pengangguran.
Di sawah tersebut akan
ditanami padi, karena saat itu sawah sedang dibajak oleh kerbau dan petani.
Sebagiannya lagi ada juga yang sedang dibajak menggunakan mesin traktor. Saya
yang sudah tidak lagi memegang uang untuk menyambung hidup, menawarkan diri
kepada petani yang sedang mengolah sawah tersebut.
Tanaman Ki Apung (Bahasa Sunda) Sumber: Google |
“Permisi, Pak!” kata saya
menyapa petani itu.
“Oh, iya. Ada apa?” jawab
pak tani kepada saya.
Petani itu bernama Pak Adom,
seorang petani yang sedang menggarap sawah milik orang lain yang tinggal di
Kota Jakarta dengan sistem bagi hasil.
“Barangkali saya bisa ikut
menggarap sawah di sini, saya butuh pekerjaan. Tidak kenapa upah kecil, asal
saya ada pekerjaan dan bisa dapat uang dari hasil bekerja.” Kata saya memelas
kepada Pak Adom.
“Silahkan, kebetulan sawah
ini banyak hamanya. Seperti ini hamanya.” Pak Adom menunjukan hama yang
dimaksud. Sebuah tanaman yang daunnya tersusun, akar di bawahnya sangat panjang
dan kecil-kecil layaknya tanaman yang tumbuh di air.
“Baik, Pak. Saya bisa mulai
sekarang kerjanya. Saya akan singkirkan tanaman itu sampai habis.” Jawab saya
dengan riangnya.
Pagi itu saya memulai
pekerjaan yang diperintahkan oleh Pak Adom. Semua tanaman yang dianggap
pengganggu tersebut saya singkirkan dan saya kumpulkan untuk kemudian saya akan
buang jauh-jauh. Saya sangat bersyukur sekali karena sekarang setidaknya saya
bukanlah seorang pengangguran lagi, melainkan saya menjadi pembantu Pak Adom yang
berfrofesi sebagai penggarap sawah orang dengan sistem bagi hasil. Tapi
ternyata, membersihkan tumbuhan tersebut tidak cukup hanya sehari saja. Saya
menyingkirkan tumbuhan itu memakan waktu 3 hari, karena memang luas sekali
sawah tersebut. Sekitar 2.500 meter luas
sawahnya, dibagi menjadi 8 petak sawah.
Setelah 3 hari saya
membersihkan tumbuhan yang dianggap Pak Adom sebagai hama tersebut, saya lalu
kemudian membuangnya ke sebuah tempat, tempat itu memang khusus untuk
pembuangan sampah yang nantinya akan diangkut oleh mobil pengangkut sampah
milik desa. Mobil itu 2 kali mengangkut sampah dalam satu pekan. Saya mengangkut
tumbuhan itu sekitar 2 kali, bolak balik menggunakan karung yang sudah
disediakan oleh Pak Adom. Namun pada saat saya mengangkut tumbuhan karung yang
terakhir, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menghampiri. Usianya tidak jauh
dengan saya.
“Kang, numpang tanya,
boleh?” Kata lelaki itu kepada saya.
“Oh, iya. Silahkan.” Jawab
saya menyambut dirinya.
“Kalo di sini, pesawahan
yang sekiranya banyak ditanami padi di mana, yah?”
“Oh, lumayan dekat, saya
kebetulan sedang menggarap sawah di sekitar sana. Ada apa memangnya?” Tanya
saya kepada lelaki itu.
“Saya lagi nyari tumbuhan
seperti ini,” lelaki itu menunjukan gambar yang ada di ponselnya. “Namannya
apu-apu atau ki apung, namun banyak orang menyebutnya dengan nama yang berbeda.”
Lanjut lelaki itu yang terus menunjukan ponselnya.
Saya langsung terheran
melihat foto yang ditunjukan oleh lelaki tersebut. Saya berfikir untuk apa
tumbuhan penggangu yang saya singkirkan dari sawah garapan Pak Adom itu dicari
oleh lelaki tersebut.
“Lah… ini bukan?” Saya
langsung menurunkan karung yang berisi tumbuhan penggangu itu. Saya membukanya
untuk menunjukan kepada lelaki itu, karena tumbuhan yang dicarinya ada pada
saya berkarung-karung.
“Nah iya, ini, Kang.” Kata
lelaki itu dengan muka yang terkejut.
“Ini dapat dari mana, di
sawah garapannya Akang?” tanya lelaki itu penasaran.
“Iya.” Jawab saya singkat.
“Akang mau buang?” tanya
lelaki itu kembali.
“Iya. Saya buang ke sini
supaya tidak tumbuh lagi di sawah. Karena menurut Pak Adom, tumbuhan ini adalah
hama.”
“Waduh jangan, Kang. Saya
bayarin saja.” Kata lelaki itu dengan serius.
“Masih banyak, Kang?” lelaki
itu kembali bertanya.
“Saya buang semua ke sini.
Sekitar 4 karung ini.” Saya menunjukan karung tersebut. Karung itu berukuran
kecil, sekitar karung ukuran 25 kg beras.
“Saya bayarin yah, Kang.” Lelaki
itu akan membayar hama yang sudah terlanjur berada di tumpukan sampah.
“Untuk apa memangnya?” Saya
lalu bertanya kepada lelaki itu. Karena minimnya pengetahuan saya, saya sendiri
tidak punya pikiran bahwa tumbuhan yang dianggap hama itu akan dibayar oleh
orang lain. Padahal Pak Adom membayar saya untuk menyingkirkan tumbuhan
tersebut.
“Saya akan jual kembali,
Kang. Tumbuhan ini selain mampu menjernihkan air, tumbuhan ini juga menjadi
penghias kolam ikan di rumah-rumah yang ada kolam ikannya. Apalagi sekarang,
Kang. Sekarang ini banyak peternak ikan cupang dan pecinta ikan cupang.
Semenjak adanya pandemi, ikan hias dan tanaman hias banyak peminatnya. Nah,
tumbuhan ini itu dipakai untuk peternak ikan cupang supaya telur-telurnya
nempal di akar yang mengantung dari tanaman ini.”
Saya tidak habis pikir kalo
ternyata tumbuhan ini ada manfaatnya. Ternyata semua yang tercipta di bumi ini,
pasti ada manfaatnya. Tergantung tempat dan orang yang mengetahuinya. Contohnya
lelaki yang memilki nama Irfan itu, lelaki yang ternyata membeli semua tanaman
yang saya buang atas perintah Pak Adom. Pak Adom sebagai petani menganggap
tumbuhan itu adalah hama, lain dengan Irfan yang ternyata pelaku bisnis di
bidang perikanan.
Irfan menganggap tumbuhan
itu adalah sumber penghasilan baginya. Para pecinta ikan hias seperti cupang
dan juga peternak ikan cupang, sengaja mencari dan mengembangbiakan tumbuhan
yang dianggap hama oleh petani seperti Pak Adom. Dan saat itu, saya sendiri
mendapatkan keuntungan tambahan. Selain dapat upah dari Pak Adom yang
menganggap tumbuhan itu hama, saya juga mendapatkan uang dari Irfan yang
menganggap tumbuhan itu memiliki harga di pasaran.
Semenjak kejadian itu, saya
disarankan oleh Irfan untuk mengembangbiakan tumbuhan tersebut. Selain dicari
oleh para peternak ikan cupang dan penggemar ikan cupang, tumbuhan tersebut
juga dicari oleh orang-orang yang di rumahnya terdapat kolam ikan. Selain itu,
tumbuhan itu juga dijadikan sebagai bahan obat batuk dan obat demam oleh
sebagian ahli herbal.
Dari semenjak itulah saya
memulai bisnis ikan cupang. Dimulai dengan mengembangbiakan tumbuhan yang
bernama apu-apu, sampai bisa menjualnya. Irfan yang membeli semua hasil pengembang
biakan tumbuhan ki apung tersebut. Ia kembali menjualnya lewat online dan juga menjadikan tumbuhan itu
sebagai penghias akuarium kecil yang di dalamnya terdapat ikan cupang sebagai
tempat berlindung. Selain indah dilihat, akuarium tersebut juga airnya menjadi
jernih karena fungsi dari tumbuhan tersebut salah satunya sebagai penjernih
air.
Setelah dua bulan saya menjadi pembudidaya tumbuhan kapu-kapu tersebut, saya menggunakan tabungan dari hasil membudidayakan ki apung itu untuk memulai usaha menjadi penjual ikan cupang di depan rumah saya. Awalnya ikan cupang saya dapatkan dari Irfan yang memang sudah lebih awal menjadi penjual ikan cupang sampai akhirnya kami berdua menjadi rekan sesama penjual ikan cupang. Sungguh, di balik kesulitan pasti ada jalan kemudahan.